JAKARTA – Hemodialisa atau cuci darah mengalami tren peningkatan di dalam kalangan anak muda. Kondisi itu adalah komplikasi dari penyakit diabetes.
Diabetes sendiri merupakan permasalahan kesegaran yang tersebut mengancam masyarakat dan juga berpotensi mengakibatkan kematian apabila tiada mendapatkan penanganan sedini mungkin. Seiring perkembangan zaman, penyakit kencing manis tidaklah hanya sekali menyerang kalangan lansia, tapi sejumlah juga anak-anak yang tersebut mengidapnya.
Menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia, prevalensi penyakit diabetes melitus tipe-1 untuk anak pada bawah umur 18 tahun di
Indonesia mengalami lonjakan 70 kali lipat dari tahun 2010 hingga 2023.
Sementara menurut International Diabetes Federation, Indonesi menjadi negara nomor satu dengan jumlah agregat penderita diabetes tipe-1 terbanyak pada wilayah Asia Tenggara, yakni mencapai 41,8 ribu jiwa pada 2021.
Melihat tingginya persoalan hukum penyakit kencing manis pada anak dalam Indonesia, tentu sangat mengkhawatirkan. Lantas, apa sih pendorong tindakan hukum penyakit kencing manis pada anak?
Saat menjadi bintang tamu di Podcast PWK, dr. Tirta mengatakan, penggerak kencing manis pada anak bukanlah nasi, melainkan minum manis kemasan di botol.
“Dalam satu botol minuman pemanis gulanya 20 gram,” ujar dr. Tirta, diambil Hari Minggu (9/6/2024).
Menurutnya, efek yang dihasilkan dari minuman manis memang benar tak cepat. Namun, terlihat pasca usia 40 tahun.
“Anak muda ke usia 20 tahunan nggak berasa (efek). Efeknya usia 40 tahunan tanpa peringatan cuci darah,” ujarnya.
Dokter Tirta menambahkan, seiring banyaknya anak yang mengonsumsi minuman kemasan berpemanis, menimbulkan tren hemodialisa atau cuci darah di usia muda meningkat.
“Ada tren hemodialisa pada usia 25-35 tahun serta riwayatnya minum manis dalam di botol,” ungkap dr. Tirta.
Artikel ini disadur dari Tren Hemodialisa di Kalangan Anak Muda Meningkat, Akibat Hobi Minuman Kemasan